4/27/13

Malam Itu




Atas segala kelelahan yang tak lagi sanggupku dekap
Atas rasa letih yang tak lagi terungkapkan
Atas samar-samar bayangan rumah yang memanggil
Aku lemah…
Tak lagi berdaya, bahkan untuk sekedar mengeluh 
Jika ada tempat aku untuk mengadu,
Itu kamu..
Benar… 
Nama kamu satu-satunya yang tertera di benak di saat begini…

Malam itu sepertinya puncak dari segala keletihan saya. Benar-benar tak sanggup lagi terkatakan. Hanya mampu terbaring di tempat tidur, tak sanggup untuk sekedar bangun sejenak. Saya lemah. Saya teringat rumah. Siapa bilang saya kuat? Jauh, jauh di dalam, saya lemah.

Mama, papa, dan adik. Bayangan sosok mereka bahkan membuat saya merasa semakin lemah. Lemah karena begitu merindukan mereka di saat begini. Lemah karena saya tahu bahwa jika ada mereka di samping saya, saya akan merasa lega. Lemah karena membayangkan dekapan hangat mereka. Ya, saya benar-benar lemah di saat itu.

Kamu. Entah bagaimana nama kamu tiba-tiba terlintas di benak saya pada malam itu. Sebenarnya banyak kekhawatiran dalam hati saya jika mengadu pada kamu. Selain saat itu sudah tengah malam—mungkin kamu sudah tidur—, saya juga takut kamu merasa saya cengeng. Kemandirian kamu membuat saya gelisah. Kalau-kalau kamu merasa enggan dengan kelemahan saya ini. Pikir demi pikir, akhirnya saya menyadari bahwa memang hanya kamu tempat saya ingin mengadu saat itu. Saya memutuskan untuk mengadu pada kamu.

Awalnya saya mengirimkan untaian kata yang menunjukkan kondisi saya disaat itu. Entahlah apa namanya puisi atau apalah itu. Benar-benar tak disangka kamu masih terjaga tengah malam begitu. Tidak seperti biasanya. Takut-takut saya membuka pesan singkat dari kamu. Lega saat melihat emotion smile dari kamu. Kamu tersenyum, kemudian bilang “don’t worry” perihal pesan singkat saya yang isinya bolehkah saya mengadu ke kamu.

Percayakah kamu? Hanya dengan kata-kata sederhana kamu itu rasa letih saya tiba-tiba lenyap, berganti dengan senyuman. Bukan kata-kata penghiburan yang panjang dan puitis, hanya sekedar kata-kata “don’t worry”. Saya serasa segar, bangun lagi dari kelemahan.

Saya takut membalas pesan singkat kamu. Saya pikir sudah cukup pesan singkat darimu membuat saya tenang malam itu. Namun, kemudian pesan singkat dari kamu masuk lagi. Pesan itu seakan menyatakan bahwa kamu tak hanya ingin sekedar bilang “don’t worry”. Lalu, saya dan kamu bercerita sampai pukul 1 a.m. Saat itu saya baru sadar bahwa hari sudah berganti. Kamu menemani saya hingga pergantian hari. Untunglah saya sadar bahwa kamu juga perlu istirahat untuk aktivitas pagi itu.

Obrolan saya dan kamu begitu berarti bagi saya. Sekali lagi, sama sekali tidak ada kata-kata motivasi atau hiburan dari kamu. Kamu, dengan cara yang aneh tapi menyenangkan membuat saya merasa tidak sendiri di saat itu. Saya senang malam itu. Malam yang berat dan rasa-rasanya tak sanggup untuk dilewati itu seakan jadi malam yang menenangkan bersama kamu. Bahkan, beberapa kali saya senyum-senyum sendiri karena pesan singkat kamu. Aneh, bukan?

Kata “terima kasih” yang saya sampaikan pada kamu di akhir percakapan itu sungguh lahir dari hati yang paling dalam. Sungguh, tanpa ada kamu yang menemani mungkin malam itu saya akan menjadi semakin lemah seiring semakin berlalunya detik waktu. Dan pesan singkat penutup dari kamu yang hanya berisi emotion smile itu membuat saya semakin bahagia. Sederhananya kamu, membuat saya semakin jatuh, terbuai oleh rasa bahagia karena kamu.

Malam itu adalah malam yang tak akan terlupakan bagi saya. Malam dimana saya merasa kamu benar-benar hadir dalam hidup saya. Entah sebagai siapa, saya tak perduli. Kehadiran kamu sudah begitu cukup untuk saya.

Malam yang istimewa itu semakin menyadarkan saya akan arti kamu dalam hidup saya. Ajaib. Berbeda. Kamu yang seperti itulah yang kemudian menghadirkan rasa bahagia dalam hidup saya. Sekali lagi, terima kasih untuk kehadiran kamu :)

4/8/13

Hujan dan Kamu



Bagiku kehadirannya bukan mengusik
Tidak mengganggu atau membuatku merasa menyesal
Mungkin karena aku begitu mencinta
Menyukai tiap tetes sang hujan
Ya, mungkin saja…
Mungkin karena aku merasa sudah begitu dekat
Akrab pada sang hujan
Mungkin…

Hujan terakhir turun dua hari yang lalu. Entah berapa hari lagi hujan hadir kembali. Hari ini dan kemarin, matahari bersinar dengan cerahnya. Padahal beberapa hari lalu, setiap hari selalu hujan. Alhasil, banyak orang yang merasa tidak enak badan karenanya. Ya, katanya faktor cuaca―hujan seharian. Tapi, saya tidak.

Ya, mungkin tubuh saya juga kurang baik karena dinginnya hari-hari yang lalu. Namun, tubuh saya bertahan. Atau mungkin sudah kebal? Saat teman saya bertanya: “Tidak kedinginan, Fan?” Saya menggeleng dan berkata: “Saya suka dingin. Biasa.” Mungkin itu juga salah satu alasan saya menyukai hujan: dinginnya, kesejukannya.

Itu tentang hujan. Lalu, bagaimana tentang kamu?

Meski telah reda, ia masih menyisakan kesejukan
Meski tak lagi bersuara,
kenyamanan yang ia bawa masih ada
Ya, ialah sang hujan yang selalu kucinta 
Seperti sederhananya sang hujan, 
Begitu pula sederhananya kamu yang membawa bahagiaku..

Kamu itu seperti hujan. Dingin. Tapi, saya suka. Ya, benar. Saya banyak belajar dari kamu. Sungguh, bukan orang seperti kamu―yang saya bayangkan―untuk menjadi tempat saya “jatuh”. Kamu jauh sekali dari seseorang yang saya impikan. Dari situlah saya belajar menerima dan memahami.

Semakin hari, saya semakin terbiasa dengan kamu. Kamu yang yang diluar pemikiran saya. Kamu yang punya cara berbeda. Kamu yang apa adanya. Semakin pula saya merasa saya semakin kekanak-kanakan dibandingkan kamu. Tapi, bagi saya kamu itu lucu. Kata-katamu, responmu, “dingin”mu, terlalu sering membuat saya senyum-senyum sendirian. Mungkin terasa lucu karena itu kamu. Mungkin membuat saya bahagia, ya karena orang itu adalah kamu.

Kamu dan hujan itu mirip. Dinginnya hujan sudah biasa bagi saya. Mirip dengan kamu. Kamu yang kadang-kadang menjengkelkan, menyebalkan, merespon dengan seenaknya saja, sudah biasa bagi saya. Tidakkah kamu tahu? Kamu dan hujan, membuat saya bahagia.