12/10/13

Sulitkah?

Sulitkah?
Sekadar bercerita
Susahkah?
Sekadar mengungkapkan apa yang kamu rasa
Rumitkah? Komplekslah?

Ah, atau mungkin memang kamu tak mau saja

Pernahkah Anda merasa begitu jauh dengan seseorang atau orang yang Anda anggap dekat? Ya, saya pernah mengalaminya. Seperti orang-orang yang saya tahu kabarnya lewat status di sosial media atau dari orang lain. Sungguh, saya merasa begitu jauh dengan orang-orang seperti itu.

Sebenarnya saya bukan jenis orang yang melankolis. Kadang saya tak peduli pada apa yang dialami orang lain. Saya pilih-pilih. Jika orang tersebut termasuk orang yang saya kasihi, ya saya peduli. Sebaliknya jika tidak, saya harus memaksa diri saya sekuat mungkin untuk peduli. Sulit memang. Tentu saja kasus terhadap orang-orang yang memang tidak “dekat” pada saya itu berbeda. saya sedang berbicara tentang orang-orang yang menurut saya cukup “dekat” dengan saya.

Jujur saja, saya merasa tidak pernah menjadi bagian dari hidup seseorang jika tak tahu kisah tentang orang tersebut. Saya merasa asing bila tak tahu-menahu tentang orang itu. Ya, saya merasa begitu. Anehkah?

Bukankah kita akan bercerita dan berkeluh kesah pada orang yang kita anggap “dekat”? Bukankah lebih mudah bagi kita untuk mengungkapkan apa yang kita rasa pada orang yang menurut kita dapat membuat kita nyaman? Tidak rumit, bukan, untuk sekadar bercerita?

Jadi, jika kamu lebih suka berceloteh lewat media sosial dibandingkan pada orang lain—termasuk saya—bukankah itu menunjukkan kita tak “dekat”? Atau saya saja yang merasa bahwa selama ini kita “dekat”?

Ah, sudahlah. Saya jadi hanya bertanya-tanya sendirian. Kamu tetap tak menjawab. Mungkin benar, kita tidak benar-benar “dekat”.


-Beberapa hari terakhir di Padang-

9/17/13

Kebahagiaan Orang Tua



“Rasanya waktu begitu cepat berlalu dan masa kanak-kanak kedua anakku menjadi kenangan yang tak terlupakan. Mereka sekarang telah menjadi gadis remaja.”

Spontan saja air mata saya menitik membaca status facebook mama, yang berbunyi seperti di atas. Haru bercampur rindu, begitulah lukisan perasaan saya ketika melihat untaian kata beliau. Ah, begitu tulusnya kasih orang tua kepada anak-anaknya. Mama memikirkan kami—saya dan adik saya—dan saya rasa bukan hanya sekali, namun selalu. Tak cuma mama, saya yakin papa pun juga menyayangi kami, anak-anaknya, sebegitu besarnya.

Saya kira semua anak di dunia selalu ingin membahagiakan orang tua mereka. Namun, terkadang cara mereka salah. Ada yang membahagiakan orang tuanya dengan mengejar kesuksesan, lalu melimpahi orang tua mereka dengan materi. Ada pula yang berpikir bahwa dengan menjadi” orang terpandang” dapat membahagiakan orang tua mereka. Saya tidak setuju dengan kedua contoh pemikiran itu. Bagi saya, bahagia orang tua adalah ketika melihat anak-anaknya bahagia.

Jika kamu bermimpi menjadi pekerja seni, lalu kemudian kamu berhasil menggapainya, orang tuamu akan berbahagia. Bila kamu ingin membuka usaha (wirausaha), lalu hal itu menjadi kenyataan, maka orang tua mu juga akan bergirang hati. Mereka akan merasa bahagia karena kamu berbahagia. Sederhana, bukan?

Lalu, bagaimana dengan orang tua yang tidak setuju dengan panggilan hidup atau pekerjaan anak-anaknya? Mengapa mereka tidak berbahagia dengan pilihan anak-anaknya? Saya rasa mereka bukan tidak berbahagia.  Mereka hanya belum atau tidak mengerti bahwa ternyata pilihan itulah yang membuat anak-anak mereka berbahagia. Mereka cuma salah paham. Mereka berpikir bahwa ada pilihan lain yang dapat membuat anak-anak mereka lebih berbahagia. Namun, pada waktunya mereka juga akan tahu. Mereka akan mengerti bahwa dengan pilihan itulah anak-anak mereka berbahagia. Bahagia mereka tetaplah melihat anak-anak mereka bahagia.

Jadi, apa yang membuatmu bahagia? Banyak uang, lalu jadi konglomerat? Berhasil menjadi profesi yang kamu inginkan? Bisa keliling dunia?  Bertemu dengan idola? Ya, semua itu memang bisa membuat kita bahagia. Namun, menurut saya, bahagia harus lebih dari itu. Bahagia bukan hanya sekadar berujung untuk diri sendiri, namun juga orang lain.

Saya pribadi amat berbahagia jika dapat menjadi berkat bagi sesama, bahkan bangsa Indonesia, lewat pekerjaan saya nantinya. Bahagia teman-teman pun sebaiknya lebih dari kebahagiaan pribadi, bukan juga hanya untuk membahagiakan orang tua dan keluarga. Namun, bahagia yang mencakup lebih luas: sesama dan bangsa. Di sana, orang tua juga termasuk di dalamnya. Dan dengan bahagia yang berguna bagi sesama dan bangsa itulah, kita membahagiakan orang tua. Alangkah indah, bukan?

Jika bahagianya mama adalah melihat saya berbahagia, maka membahagiakan mama—dengan mengasihinya, menghormatinya, menghargainya, dan mentaatinya—juga termasuk dalam bahagia versi saya. Ya, sesederhana itulah kasih. Selamat membahagiakan orang tua kita :)

8/6/13

Pulang Kampung yang Singkat

Sudah begitu lama rasanya tidak menulis (skripsi tidak masuk hitungan yaa :p). Saya seperti kehilangan cerita, juga kata-kata. Sekarang sih sudah lebih baik karena sedang rehat dari bimbingan dan menulis skripsi :D Nah, yang kali ini saya ingin ceritakan adalah liburan singkat saya di rumah. Di tahun baru saya hanya 3 hari berada di rumah, selanjutnya harus balik ke Padang untuk seminar proposal. Liburan semester kali ini pun tak jauh berbeda. Padahal saya berharap bisa lebih dari seminggu. Namun karena dosen pembimbing yang tak bisa sebentar saja saya tinggal saya (ceileeh), terpaksa saya harus balik tepat seminggu. Lagi-lagi singkat sekali >.<

Seminggu itu saya bahkan tidak sempat bertemu sahabat-sahabat di kala SMA. Kebanyakan mereka masih sibuk mengurus skripsi atau sidang skripsi. Alhasil saya cuma menghabiskan waktu di rumah dan di rumah oma sekali. Oma sedang sakit, ya sakit karena usia yang sudah lanjut. Sedih rasanya melihat oma yang hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur, duduk saja sudah susah. Katanya beliau menanyakan saya terus karena adik saya waktu itu sudah bertemu oma sebelum saya datang. Saya yang belum. Lega dan senang rasanya bisa bertemu beliau, menyapa, ngobrol-ngobrol sambil tertawa. Sepertinya pulang kampung saya yang singkat tidak sia-sia juga ya.

Selain itu mama menambah pekerjaan saya di rumah dengan membantu beliau menyusun SKM untuk semester berikutnya. Ya, pekerjaan saya di rumah dulu juga kalau pulang ke rumah ya begitu dari mama. Kalau tidak membantu beliau merekap nilai rapor, ya bermacam-macam lah urusan seorang guru SMP. Dan bagi saya, menyenangkan sekali bisa membantu mama. Kalau sama papa, ya biasalah. Kalau nonton berita, saya harus dengar komentar-komentar papa tentang berita tersebut. Padahal kan saya masih awam sekali soal politik. Jadi kalau papa sudah mulai komentar—seakan ngajak diskusi,biasanya saya cuma manggut-manggut. Kadang juga saya lebih sering bertanya, itu maksudnya apa :D Tapi, lumayan juga pengetahuan saya semakin bertambah dengan pemikiran-pemikiran papa. Kalau dengan adik saya lain lagi. Yang kami bicarakan biasanya koleksi film di laptop/notebook, kemudian koleksi lagu di ponsel. Senang rasanya bisa berkumpul lengkap berempat di rumah :)

Kemudian, entah bagaimana ceritanya saya dan mama asik membuka album foto masa lalu. Saat mama dan papa masih muda, saat pernikahan mama dan papa, saat saya masih jadi anak tunggal, saat adik saya masih kecil, wah pokoknya serasa nostalgia lagi :D Saking asiknya, saya kembali mengambil foto tersebut dengan kamera saku saya. Ini beberapa foto jadul saya :D

Saya kecil di TK :D

Saya kecil di samping pohon natal kami :D

Saya (sebelah kiri) dan adik saya saat membuka kado natal dari papa dan mama (selalu sama, yang berbeda hanya warna sesuai warna favorit kami) :D

Saya dan adik sedang di kapal feri yang mengarungi Danau Toba :D


Udah ah segitu aja :D Kalau kebanyakan entar dibilang narsis :p Bagaimana? Jadul sekali kan :D Ya, saya benar-benar menikmati pulang kampung yang singkat bersama keluarga kecil dan hangat ini. Meskipun singkat, namun menyenangkan. Lagi-lagi saya mau bilang, ternyata pulang kampung yang singkat ini tidak sia-sia ya :D Selamat liburan dan menyambut lebaran :D 

6/17/13

Ingatlah akan Dia

Mulai.. 
Merasa sepi ditengah-tengah keramaian 
Muak dengan keributan di sekitar 
Menyesak, sulit bernapas 
Kosong, hening isi hati 
Lalu, kamu menengadah 
Kamu mengingat Dia 
Ya, Dia Sang Maha Kuasa 
Kamu kembali mengingat masa lalu 
Kamu kemudian menyadari 
Bahwa Ia ada, Ia bisa kamu rasakan,
Dalam tiap tetes keringatmu, 
Dalam tiap kali jatuh bangunmu 
Kamu bisa merasakan penyertaan-Nya 
Lalu mengapa kamu merasa sendiri? 
Ingatlah Dia, ingatlah penyertaan-Nya 
Kamu tak akan tergeletak, tak akan sampai roboh 
Ingatlah akan tangan-Nya yang selalu siap menopangmu 
Ingat, ya teruslah ingat akan kehadiran-Nya dalam hidupmu…


Sudah sebulan genap saya tidak menulis disini. Beberapa minggu ini saya kembali harus melakukan penelitian di laboratorium lagi. Padahal sebelumnya saya sudah menyelesaikannya, hanya tinggap tahap akhir saja. Namun ternyata dosen pembimbing menambah beberapa pekerjaan yang harus saya kerjakan kembali. Ya, mau bagaimana lagi >.<

Lagi-lagi saya mengalaminya. Kelelahan yang luar biasa. Ah, andai saja saya punya tubuh yang tahan banting. Yang bila kehujanan, tidak gampang jatuh sakit. Juga yang jika kelelahan dan kurang istirahat, tak lantas langsung roboh. Bukan seperti yang saya alami sekarang. Seperti itulah ceritanya. Saya jatuh sakit lagi. Tak cuma itu, saya yang moody mengalami bad mood dalam beberapa hari ini. Ya, ini memang lantaran kondisi tubuh yang sangat tidak mengenakkan. Alhasil, rasa-rasanya ingin marah-marah saja. Kesal pada semua orang. Tidak ingin mempedulikan siapapun. Ah, tidak enak sekali -__-

Beberapa hari ini saya ditegur-Nya. Saat itu saya sedang merenungkan suatu kisah. Kisah yang membuat saya balik ke masa-masa sebelumnya. Detik-detik saya merasa tak ada harapan dari penelitian saya ini. Saat-saat saya sudah hampir putus asa, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kisah itu menceritakan bagaimana Tuhan menuntun dan menyertai umat-Nya.  Tak hanya itu, Ia tidak akan membiarkan umat-Nya melewati perjalanan hidup begitu saja. Ada jaminan penyertaan penuh atas umat  dan saya pun akan menikmati pernyataan-Nya yang penuh jika saya taat pada-Nya.

Ah, renungan beberapa hari ini benar-benar menguatkan dan menegur saya. Saya tidak pernah sendiri. Balik ke masa-masa sulit tadi, saya kembali diingatkan tentang kasih Tuhan dalam hidup saya. Masa lalu benar-benar adalah masa yang tidak patut dilupakan begitu saja. Belajar dari masa lalu, belajar mensyukuri penyertaan-Nya. Saya menjadi ingat bagaimana tangan-Nya menopang saya disaat hampir jatuh. Ya, saya bisa merasakan itu :)


Lalu, kenapa saya harus merasa sepi atau sendiri di saat sulit begini? Ya, saya rasa tidak ada alasan bagi saya untuk merasa sendiri dan tidak sanggup lagi. Saya masih punya Dia :)

5/17/13

Rumah Baru


Dulu saat saya masih SMA, saya sangat menyukai kelas kami. Meskipun waktu itu sistem pembelajaran sudah berubah menjadi moving class—masing-masing mata pelajaran punya kelas khusus—kami tetap sering nongkrong di kelas kami, XII IPA 1.

Kami memang dikritik oleh beberapa kelas lain dan guru lain karena seolah-olah tidak adil kami memperoleh kelas dua sekaligus. Kelas kami yang semula laboratorium komputer itu dipindahkan menjadi kelas yang benar-benar ruangan belajar.  Tapi, kami masih rajin ngumpul-ngumpul di laboratorium komputer itu. Berat rasanya untuk pindah karena memang fasilitas disana menjanjikan :D Khususnya ada WiFi, komputer-komputer pula disana. Jadi kami yang seakan menjadi penguasa laboratorium itu :D Kami bebas datang kapan saja. Hari libur sekalipun haya untuk memanfaatkan fasilitas WiFi. Ya, ini karena wali kelas kami juga sekaligus penanggung jawab labor tersebut :D

Sepertinya hal itu yang menyebabkan kami seperti “diusir” dari kelas kami itu dan harus pindah ke kelas lain. Namun, tetap saja, kami punya akses yang mudah untuk masuk labor itu :D Begini penampakan kelas kami semula—labor komputer:

 Sepertinya ini saat sedang dalam pembelajaran Teknologi Informatika :D


Latihan untuk penampilan English Day :D

Semenjak kuliah, rasa-rasanya saya kehilangan kelas itu. Di bangku kuliah, tidak ada kelas yang benar-benar seperti rumah atau tempat sekadar beristirahat. Ya, saya merindukan kelas kami. Kelas dimana tempat kami rapat membicarakan hal-hal penting tentang kelas kami, nyanyi-nyanyi bareng, latihan untuk penampilan English Day. Tahun akhir di SMA benar-benar memberi kesan terindah dan takkan terlupakan bagi saya.

Namun ada yang berbeda di tahun akhir saya kuliah ini. Mulai semester ini saya merasa sudah punya “rumah” baru. Ya, kami sudah masuk laboratorium di bidang masing-masing. Disanalah “rumah” baru saya. Laboratorium Kimia Material Universitas Andalas Padang. Saya akan berbagi penampakan-penampakan “rumah” baru saya ini.

Sekilas gambaran labor kami :D


Mading yang berisi data kami beserta judul penelitian dan nama pembimbing. Keren kan :D


Sofa di labor kami :D

Salah satu poster di labor kami :D

Saya yang sedang serius bekerja :D


Ya, ini benar-benar serasa seperti kelas saat saya SMA—rumah. Labor ini adalah tempat beristirahat, tempat belajar, diskusi, bahkan tempat main ludo—permainan popular di labor kami untuk mengisi waktu luang :D Saya menyukai “rumah” baru saya ini :)

Saya berharap teman-teman di labor ini—keluarga baru ini juga tak kalah menyenangkannya dengan teman-teman SMA. Ya, benar. Rasanya tak bisa disbanding-bandingkan. Bukan. Sama sekali bukan membanding-bandingkan. Saya hanya ingin merasakan bahwa ini benar-benar “rumah”—tempat ternyaman saya saat di kampus, tempat saya melepas kepenatan dan tempat di saat saya sudah bosan di kamar kos.

Ini benar-benar “rumah” baru. Orang-orangnya pun baru saya kenal lebih dalam. Saya yang sulit lekas akrab dengan teman-teman ini memang susah. Ya, saya berharap disini saya dapat merasa nyaman dengan orang-orang baru dan lingkungan yang baru. Semoga saja.

Laboratorium Kimia Material jayalah!!! :D

5/13/13

Lagu Tentang Hujan


Entah sejak kapan tepatnya saya mulai menyukai hujan. Suaranya, kesejukan yang dibawanya, membuat saya jatuh cinta. Kehadiran hujan membuat saya selalu tersenyum dan merasa bahagia. Ya, saya mencintai hujan.

Tapi, saya ingat bahwa saat itu saya masih siswi SMA. Anak-anak SMA punya kesukaan—ketertarikan—pada suatu hal. Contohnya, sahabat saya Rika. Dia menyukai bintang. Segala pernak-perniknya berlambangkan bintang. Gantungan kunci HP-nya berupa bintang, wallpaper HP-nya gambar bintang, layout Friendster-nya ada bintang-bintang, sampai bajunya pun ada simbol bintang-bintang. Lain lagi dengan Icha. Sahabat saya satu ini dulunya menyulai kupu-kupu. Sama seperti Rika, ada banyak barang yang dimilikinya bergambarkan kupu-kupu. Kalau Riri beda lagi, dia menyukai warna pink. Pernak-perniknya pun serba pink. Mungkin salah satu alasan saya sampai sekarang menyukai warna pink karena terpengaruh dengan Riri :D Dan saat mereka memilih ketertarikan mereka masing-masing, saya memilih menyukai hujan.

Tak berbeda dengan mereka, saya pun mulai menyukai hal-hal yang berhubungan dengan hujan. Saya mulai suka menulis tentang hujan. Puisi hujan, cerita tentang hujan, hingga lagu tentang hujan. Kali ini saya akan bercerita khususnya tentang lagu yang berhubungan dengan hujan.

Waktu itu saya masih pecinta hujan yang amatir :D banyak hal yang tidak saya ketahui tentang hujan. Pokoknya saya mau dibilang pecinta hujan, titik! :D Mungkin seperti anak SMA kebanyakan yang mencari kesukaannya, identitasnya, saya pun begitu. Saya merasa bangga dengan menyebut diri saya pecinta hujan :D

Kelas 2 SMA, ujian praktek seni musik kami adalah menciptakan sebuah lagu dan menyanyikannya di depan guru seni. Waktu itu kami jadi sibuk belajar main alat musik untuk menciptakan lagu. Alat musik yang  popular di kelas kami adalah gitar. Hal ini dikarenakan hampir semua—hanya 1 atau dua orang—anak cowok di kelas kami yang tidak bisa memainkan gitar. Alhasil, tiap kelas kosong—guru tidak masuk karena berhalangan—kami bernyanyi bersama dengan diiringi gitar yang dimainkan anak cowok. Wah, memang masa-masa itu begitu indah dan tak akan bisa dilupakan :D Ya, kelas kami bisa dibilang kelas pecinta musik. Tidak cuma anak cowok, juga ada beberapa anak cewek yang bisa main gitar. Kami sekelas suka musik. Bahkan, saat ada perlombaan menyanyi antar kelas saat peringatan hari guru, kelas kami mendapat juara 1 :D Memang sih itu berkat salah seorang teman cowok yang memang berbakat musik. Hampir semua alat musik bisa dia mainkan. Lagu-lagu yang kami bawakan saat lomba itu, dia yang mengaransemennya :D Wajar juga kami menang :D

Nah, sejak itu saya juga ikut belajar main gitar. Saya benar-benar belajar sendiri. Lihat-lihat teman yang main gitar di kelas, kemudian di rumah saya coba praktekkan. Akhirnya saya mulai tahu kunci-kunci gitar dasar. Dengan bermodalkan itu, saya menciptakan lagu tentang hujan. Ya, dulu saya tidak tahu lagu tentang hujan yang hits. Sampai-sampai seorang teman lelaki yang memperkenalkan lagu Hujan-nya Utopia pada saya. Saya langsung jatuh cinta begitu mendengar lagu itu. Liriknya, musiknya, saya benar-benar menyukainya. Terlebih lagi karena tentang hujan. Seketika lagu Hujan-nya Utopia menjadi lagu favorit saya, yang saya putar berulang-ulang di HP :D

Selain lagu Hujan-nya Utopia, lagu tentang hujan yang kedua saya dengar waktu itu adalah lagu ciptaan teman lelaki saya itu. Dua baris liriknya saya letakkan sebagai header di blog saya ini :D Ya, saya juga suka sekali dengan lagu teman saya ini. Agaknya saya bersyukur malam sebelumnya kami bertengkar sampai akhirnya dia membuatkan saya lagu ini :D Padahal sebelumnya udah berminggu-minggu saya memaksanya menuliskan puisi tentang hujan sebagai kenang-kenangan sebelum kami tamat SMA. Waktu itu memang saya dan teman-teman sekelas berusaha memberi kenang-kenangan sebelum berpisah. Eh, akhirnya dia sendiri yang menyodorkan flashdisk yang berisikan lagu itu pada saya. Sepertinya itu salah satu bentuk permintaan maafnya :D Berikut lirik lagu ciptaan teman saya yang diberinya judul Hujan:

Hujan yang turun 
Perlahan merintik-rintik 
Ku duduk termangu 
Di jendela kamarku


Izinkanlah diriku
Mendengar rintikan tarian hujanmu 


Hanya hujan 
yang bisa mengisi kehampaanku 
Hanya hujan 
yang bisa membuatku kuat berdiri sendiri….

Sederhana tapi liriknya terasa nyata sekali. Ya, benar. Saat saya letih minta ampun, saat saya sedang kangen rumah atau sahabat-sahabat, hujan adalah obatnya. Hujan membuat saya merasa damai, tenang, dan nyaman. Menakjubkan.

Saya tidak tahu apa sahabat-sahabat saya sejak SMA masih menyukai hal-hal yang mereka sukai sewaktu SMA. Komunikasi kami masih baik. Namun, tiap bertemu kami sama sekali tidak menceritakan hal-hal kecil di masa lalu. Biasanya kami bercerita tentang bagaimana kuliah dan kabar teman-teman lainnya. Meskipun begitu, saya masih menyukai hujan hingga detik ini. Ya, saya masih mengagumi hujan dan rasa bahagia oleh karenanya. Masih dan mungkin akan terus menyukainya…. :)

5/5/13

Penelitian Ini


Ya, akhirnya saya sampai di titik ini. Sungguh tak terasa. Serasa berapa hari lalu saya berperan sebagai mahasiswa baru—pakai pita rambut warna kuning, pakai rok panjang, nyeletuk “Uni” atau “Uda” tiap berpapasan dengan senior, dan hal-hal lain semasa ospek setahun awal kuliah itu. Namun, sekarang status saya sudah berubah menjadi mahasiswa tingkat akhir. Wah, dengar sebutan itu saja sudah berat rasanya -.-“

Seminar kolokium sudah, seminar proposal juga. Sekarang saya sedang melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi. Setelah penelitian selesai, barulah menyusun skripsi. Selanjutnya, seminar hasil, lalu ujian kompre. Ckck. Ternyata perjalanan saya masih agak panjang >.<

“Sudah sampai mana?” Sepertinya itu pertanyaan yang paling sering ditanya oleh mama saya. Bukan mendorong untuk buru-buru lulus kuliah—tapi kalau bisa lebih cepat kenapa tidak—, saya pikir mama pasti ingin tahu sudah sejauh mana penelitian saya saat ini. Jujur saya bingung ingin menjelaskan bagaimana pada mama. Kenyataannya, saya merasa penelitian saya tidak ada perkembangannya. Masih coba-coba -.-“

Ceritanya begini… Saya dan teman-teman yang sama pembimbing I-nya, melakukan penelitian sesuai proyek dosen pembimbing ini. Masalahnya, ada banyak hal yang belum jelas menurut kami dalam proyek ini. Mulai dari prosedur kerja sampai perhitungan pembuatan larutannya. Ah, masih membingungkan. Meskipun kami telah menyelesaikan tahap try and error, tapi hasil penelitian yang kami peroleh beberapa minggu ini masih belum sesuai harapan. Ah -.-“

Masalah lainnya, ternyata judul skripsi saya dan teman-teman satu bimbingan ini berbeda loh dengan proyek dosen ini. Lah, saya jadi bingung maksud dosen ini apa >.< Masa beberapa minggu ini kami baru melakukan penelitian untuk proyek sang dosen. Sementara penelitian kami belum sama sekali dimulai. Ah, saya benar-benar stres setiap memikirkan ini -.-“ Namun, baru-baru ini saya mendengar bahwa dosen ini berniat menyamakan judul skripsi kami dengan proyeknya. Sehingga, apabila proyek sang dosen—yang sedang kami kerjakan ini—selesai, penelitian kami juga selesai. Tinggal menyusun skripsi. Tapi, itu juga belum pasti. Kami serasa masih digantung—tak jelas. Padahal laboratorium semakin sepi. Teman-teman satu laboratorium udah pada mau selesai dan sudah ada yang selesai penelitian. Ah, iri rasanya >.<

Penelitian ini benar-benar menyita pikiran saya, rasa-rasanya semangat menjadi surut mengingat pergumulan ini. Belum lagi fisik pun juga kena sita. Bayangkan? Saking melelahkannya penelitian itu, tiap pulang penellitian saya selalu langsung terkapar di kasur—tidur dari sore hingga malam. Parahnya, malamnya saya susah tidur tepat waktu. Alhasil, beberapa hari ini saya baru bisa tidur hingga hampir subuh. Menyiksa >.<

Tapi, saya sudah tak seegois sebelumnya kok. Sebelumnya saya benar-benar membiarkan tubuh ini begitu saja, mau habis ya habislah. Terserah saja lah. Ya, begitu pikir saya karena sudah terlampau lelah. Namun, saya sudah menyadari bahwa saya salah. Saya ingin menjaga tubuh pemberian-Nya ini. Jadi, meskipun mual dan tak enak, saya minum susu sebelum dan sesudah penelitian. Tak hanya itu, saya juga mengkonsumsi suplemen makanan agar tak “tewas” seperti sebelumnya. Ya, saya harus kuat!

Hal baiknya dari penelitian ini adalah kami melakukannya di Laboratorium Pengujian dan Penelitian PT Semen Padang. Alasan sang dosen membawa kami kesini adalah karena kelengkapan peralatannya, sehingga tak harus mengantri memakai alat seperti di laboratorium kampus saya. Meskipun disana kami tidak mempunyai ruangan— numpang—tapi memang penelitian jadi lebih cepat selesai. Tak hanya itu, kami juga bisa memperoleh wawasan dari karyawan yang bekerja disana. Amat-amati dan tanya-tanyai, itu juga beberapa aktivitas lain kami disana :D

Berikut foto-foto disana :
Sekilas gambaran Laboratorium Pengujian dan Penelitian PT Semen Padang


Saya (baju biru) dan Silvi (teman satu bimbingan) :D


Saya dan Rina (teman satu bimbingan) numpang foto di depan Dep. Rancang Bangun & Rekayasa PT Semen Padang :D




Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan betapa lelahnya kami melakukan penelitian ini. Namun, saya ingin menikmati penelitian ini. Saya ingin berusaha menikmati setiap kelelahan ini, kemumetan pikiran oleh karena ini, dan juga pelatihan-pelatihan diri—melatih kesabaran, emosi. Ya, menikmati dan tidak menjadikannya hanya sekedar rutinitas. Saya mau melakukan yang terbaik dan dengan segenap hati dalam hal apapun, termasuk penelitian ini karena saya tahu bahwa Ia selalu menyertai dan sudah begitu baik pada saya. Jadi, tidak ada yang “terlalu” untuk diberikan pada-Nya, bukan? :) Hwaiting!^^

4/27/13

Malam Itu




Atas segala kelelahan yang tak lagi sanggupku dekap
Atas rasa letih yang tak lagi terungkapkan
Atas samar-samar bayangan rumah yang memanggil
Aku lemah…
Tak lagi berdaya, bahkan untuk sekedar mengeluh 
Jika ada tempat aku untuk mengadu,
Itu kamu..
Benar… 
Nama kamu satu-satunya yang tertera di benak di saat begini…

Malam itu sepertinya puncak dari segala keletihan saya. Benar-benar tak sanggup lagi terkatakan. Hanya mampu terbaring di tempat tidur, tak sanggup untuk sekedar bangun sejenak. Saya lemah. Saya teringat rumah. Siapa bilang saya kuat? Jauh, jauh di dalam, saya lemah.

Mama, papa, dan adik. Bayangan sosok mereka bahkan membuat saya merasa semakin lemah. Lemah karena begitu merindukan mereka di saat begini. Lemah karena saya tahu bahwa jika ada mereka di samping saya, saya akan merasa lega. Lemah karena membayangkan dekapan hangat mereka. Ya, saya benar-benar lemah di saat itu.

Kamu. Entah bagaimana nama kamu tiba-tiba terlintas di benak saya pada malam itu. Sebenarnya banyak kekhawatiran dalam hati saya jika mengadu pada kamu. Selain saat itu sudah tengah malam—mungkin kamu sudah tidur—, saya juga takut kamu merasa saya cengeng. Kemandirian kamu membuat saya gelisah. Kalau-kalau kamu merasa enggan dengan kelemahan saya ini. Pikir demi pikir, akhirnya saya menyadari bahwa memang hanya kamu tempat saya ingin mengadu saat itu. Saya memutuskan untuk mengadu pada kamu.

Awalnya saya mengirimkan untaian kata yang menunjukkan kondisi saya disaat itu. Entahlah apa namanya puisi atau apalah itu. Benar-benar tak disangka kamu masih terjaga tengah malam begitu. Tidak seperti biasanya. Takut-takut saya membuka pesan singkat dari kamu. Lega saat melihat emotion smile dari kamu. Kamu tersenyum, kemudian bilang “don’t worry” perihal pesan singkat saya yang isinya bolehkah saya mengadu ke kamu.

Percayakah kamu? Hanya dengan kata-kata sederhana kamu itu rasa letih saya tiba-tiba lenyap, berganti dengan senyuman. Bukan kata-kata penghiburan yang panjang dan puitis, hanya sekedar kata-kata “don’t worry”. Saya serasa segar, bangun lagi dari kelemahan.

Saya takut membalas pesan singkat kamu. Saya pikir sudah cukup pesan singkat darimu membuat saya tenang malam itu. Namun, kemudian pesan singkat dari kamu masuk lagi. Pesan itu seakan menyatakan bahwa kamu tak hanya ingin sekedar bilang “don’t worry”. Lalu, saya dan kamu bercerita sampai pukul 1 a.m. Saat itu saya baru sadar bahwa hari sudah berganti. Kamu menemani saya hingga pergantian hari. Untunglah saya sadar bahwa kamu juga perlu istirahat untuk aktivitas pagi itu.

Obrolan saya dan kamu begitu berarti bagi saya. Sekali lagi, sama sekali tidak ada kata-kata motivasi atau hiburan dari kamu. Kamu, dengan cara yang aneh tapi menyenangkan membuat saya merasa tidak sendiri di saat itu. Saya senang malam itu. Malam yang berat dan rasa-rasanya tak sanggup untuk dilewati itu seakan jadi malam yang menenangkan bersama kamu. Bahkan, beberapa kali saya senyum-senyum sendiri karena pesan singkat kamu. Aneh, bukan?

Kata “terima kasih” yang saya sampaikan pada kamu di akhir percakapan itu sungguh lahir dari hati yang paling dalam. Sungguh, tanpa ada kamu yang menemani mungkin malam itu saya akan menjadi semakin lemah seiring semakin berlalunya detik waktu. Dan pesan singkat penutup dari kamu yang hanya berisi emotion smile itu membuat saya semakin bahagia. Sederhananya kamu, membuat saya semakin jatuh, terbuai oleh rasa bahagia karena kamu.

Malam itu adalah malam yang tak akan terlupakan bagi saya. Malam dimana saya merasa kamu benar-benar hadir dalam hidup saya. Entah sebagai siapa, saya tak perduli. Kehadiran kamu sudah begitu cukup untuk saya.

Malam yang istimewa itu semakin menyadarkan saya akan arti kamu dalam hidup saya. Ajaib. Berbeda. Kamu yang seperti itulah yang kemudian menghadirkan rasa bahagia dalam hidup saya. Sekali lagi, terima kasih untuk kehadiran kamu :)

4/8/13

Hujan dan Kamu



Bagiku kehadirannya bukan mengusik
Tidak mengganggu atau membuatku merasa menyesal
Mungkin karena aku begitu mencinta
Menyukai tiap tetes sang hujan
Ya, mungkin saja…
Mungkin karena aku merasa sudah begitu dekat
Akrab pada sang hujan
Mungkin…

Hujan terakhir turun dua hari yang lalu. Entah berapa hari lagi hujan hadir kembali. Hari ini dan kemarin, matahari bersinar dengan cerahnya. Padahal beberapa hari lalu, setiap hari selalu hujan. Alhasil, banyak orang yang merasa tidak enak badan karenanya. Ya, katanya faktor cuaca―hujan seharian. Tapi, saya tidak.

Ya, mungkin tubuh saya juga kurang baik karena dinginnya hari-hari yang lalu. Namun, tubuh saya bertahan. Atau mungkin sudah kebal? Saat teman saya bertanya: “Tidak kedinginan, Fan?” Saya menggeleng dan berkata: “Saya suka dingin. Biasa.” Mungkin itu juga salah satu alasan saya menyukai hujan: dinginnya, kesejukannya.

Itu tentang hujan. Lalu, bagaimana tentang kamu?

Meski telah reda, ia masih menyisakan kesejukan
Meski tak lagi bersuara,
kenyamanan yang ia bawa masih ada
Ya, ialah sang hujan yang selalu kucinta 
Seperti sederhananya sang hujan, 
Begitu pula sederhananya kamu yang membawa bahagiaku..

Kamu itu seperti hujan. Dingin. Tapi, saya suka. Ya, benar. Saya banyak belajar dari kamu. Sungguh, bukan orang seperti kamu―yang saya bayangkan―untuk menjadi tempat saya “jatuh”. Kamu jauh sekali dari seseorang yang saya impikan. Dari situlah saya belajar menerima dan memahami.

Semakin hari, saya semakin terbiasa dengan kamu. Kamu yang yang diluar pemikiran saya. Kamu yang punya cara berbeda. Kamu yang apa adanya. Semakin pula saya merasa saya semakin kekanak-kanakan dibandingkan kamu. Tapi, bagi saya kamu itu lucu. Kata-katamu, responmu, “dingin”mu, terlalu sering membuat saya senyum-senyum sendirian. Mungkin terasa lucu karena itu kamu. Mungkin membuat saya bahagia, ya karena orang itu adalah kamu.

Kamu dan hujan itu mirip. Dinginnya hujan sudah biasa bagi saya. Mirip dengan kamu. Kamu yang kadang-kadang menjengkelkan, menyebalkan, merespon dengan seenaknya saja, sudah biasa bagi saya. Tidakkah kamu tahu? Kamu dan hujan, membuat saya bahagia.

3/12/13

Memanajemeni Waktu



Siang hingga sore tadi akhirnya hujan mengguyur kota ini. Hati saya berteriak bahagia. Akhirnya, hujan yang saya nanti-nantikan hadir juga. Ya, dibalik kemumetan semua ini, saya sangat memerlukan hadirnya hujan, sang pemberi ketenangan, kesejukan, dan kenyamanan. Rasa-rasanya segala letih larut dibawa rintiknya. Sungguh menyenangkan :)

Beberapa minggu terakhir ini, saya merasa biasa-biasa saja. Bukan “biasa” dalam hal baik sih. Namun, ya biasa dalam maksud buruk. Apa-apa terasa biasa. Gak ada rasa senang. Gak ada rasa sedih. Gak ada rasa terharu. Biasa saja. Bahkan, saya merasa jenuh. Ya, benar. Saya bosan.

Kata seorang teman, hal ini wajar dialami mahasiswa tingkat akhir. Ya, mungkin itu salah satu alasan “biasa” atau kejenuhan ini. Tapi, saya rasa tidak hanya itu saja. Mungkin alasan lainnya adalah kurangnya waktu saya bersama-Nya. Bukan saya bilang bahwa Ia tidak bersama saya atau meninggalkan saya. Bukan, sama sekali bukan itu maksudnya. Namun, saya merasa kurang memberi waktu untuk bertemu dengan-Nya. Sungguh memalukan.

Jadi, waktu-waktu saya kemana? Saya habiskan untuk apa saja? Untuk ini:
-          Penelitian
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya saya dan rekan-rekan sepenelitian dapat memulai penelitian kami. Lamanya penantian ini sungguh membuat saya jadi ogah-ogahan. Bagaimana tidak? Saya kurang suka dengan sikap pembimbing kami yang tidak “jelas”. Janjinya tidak bisa dipegang. Kalau mau bertemu, gak ada waktu yang pasti kapannya. Ah, sungguh membuat kesal. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Mungkin juga ini salah satu cara-Nya agar saya belajar lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih menjaga emosi. Mungkin saja, bukan? Tapi, saya bersyukur kami melewati ketidakpastian itu hingga bisa memulai penelitian ini. Mekipun masih dalam proses try and error, tapi sudah ada yang kami kerjakan dan hasilkan. Berkali-kali error tidak jadi masalah.Ya, tetap aja harapannya jangan sampai error terus :D Semoga saja, penelitian ini berakhir baik. Kerumitan, kemumetan prosesnya, itu tak jadi soal buat saya. Kalau lancar-lancar aja, mungkin saya tak pernah belajar mengalami kesulitan.

-          Praktikum
Sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, masih ada praktikum juga? :D Ya, saya tetap praktikum, tapi tidak sebagai praktikan lagi, melainkan sebagai asisten (kata teman saya, kami sudah naik tingkat ^^ ). Setelah menjalani peran baru ini, saya baru menyadari bahwa menjadi asisten tidak mudah, tidak santai-santai saja, dan tidak enak. Bayangkan? Sebelum praktikum dimulai, asisten terlebih dahulu praktikum (try and error). Hal ini sangat diperlukan agar saat praktikum tidak terjadi masalah. Selain itu, asisten juga harus belajar, bahkan harus lebih banyak belajar daripada praktikan. Kalau tidak, bagaimana mau membantu mereka memahami percobaan yang dilakukan? Ya, saya menjadi belajar kembali sejak jadi asisten. Hal lainnya, menjadi asisten juga membantu saya belajar sabar menghadapi berbagai karakter praktikan-praktikan :D Ya, meskipun lelahnya luar biasa (setiap pulang praktikum, saya langsung tepar di kasur), saya menikmati dan memang harus menikmati peran baru ini :)

-          Pelayanan
Pelayanan disini maksudnya adalah kegiatan-kegiatan rohani. Ya, saya mengambil bagian dalam suatu pelayanan mahasiswa. Jadi, ada tugas-tugas yang harus saya kerjakan. Tugas-tugas itu tidak mudah dan cukup menyita waktu saya. Kadang juga membuat saya mumet dan cukup emosi. Tapi, ini juga termasuk dalam pembentukan karakter saya. Gak masalah. Saya juga menikmatinya :)


Ya, tiga hal tersebut begitu menyita waktu saya. Kelelahan, itu pasti. Mungkin itu juga yang membuat saya merasa jenuh. Kalau soal beban sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya rasa tidak seberapa. Saya bersyukur mempunyai keluarga yang mengerti betul saya. Tiap mendengar keluhan teman-teman yang bilang orangtuanya nanyain kapan wisuda, saya hanya bisa tertawa. Beda sekali dengan mama dan papa. Beliau tidak menuntut saya wisuda cepat-cepat. Ya, pada waktunya juga akan wisuda kok. Saya senang, mereka begitu memahami apa yang saya alami :)

Kembali lagi pada kurangnya waktu saya bersama-Nya, saya mulai mengatur ulang waktu saya. Bahasa kerennya: belajar manajemen waktu :D Waktu saya untuk bersama-Nya dari jam berapa sampai jam berapa, waktu untuk membaca, menulis, belajar, dll mulai saya atur. Jadi, waktu untuk-Nya sama sekali bukan waktu sisa, namun waktu yang disisihkan―berkualitas. Ya, semoga saja upaya saya ini menghadiahkan sukacita yang dulu saya rasakan. Yap, saya rindu bersukacita dalam kelelahan, dalam kemumetan, dan dalam ketidakenakan. Berharap saya bisa menemukan sukacita itu lagi ^^ Hwaiting fany! :D   

3/9/13

Diam


“Kadang aku capek loh menghadapi kamu yang seperti ini. Kamu susah pahamnya, susah ngertinya. Kamu sering menempatkan diri sama dalam tiap kondisi, gak serius. Aku tahu ya emang itulah kamu. Ya, harusnya aku bisa menerima kamu ya seperti itu. Tapi, ya begini. Kadang aku capek.”

Tak ada satu katapun yang mampu kamu ucapkan untuk merespon kalimat-kalimat panjangku itu. Marahkah kamu? Kesalkah kamu mendengar kata-kataku? Atau kagetkah kamu bahwa ternyata aku seperti ini? Yang terkadang juga bisa terbawa perasaan, terbawa emosi, kondisi?

Kamu masih diam, tanpa membisikkan satu huruf pun. Dan aku pun menjadi gelisah. Bukankah lebih baik kamu marah? Mending kamu teriakin aku. Daripada membuatku tak berdaya seperti ini. Ya, itu semua lebih baik daripada semua keheningan ini.

Hujan juga tak hadir memberiku kesejukkan. Bintang? Entahlah. Di malam hari aku hanya berdiam di kamar memikirkan kamu. Ya, tak tenang rasanya karena kamu.

Kupandangi pesan-pesan singkat darimu sebelumnya. Sepertinya merekalah yang tersisa. Kelihatannya, semua itu menjadi terakhir kalinya kita berkomunikasi. Biarlah kusimpan. Entah jadi kenangan, entah jadi apapun itu.

Kamu masih diam. Aku pun ikut diam. Dan kapan kita saling bicara lagi?

2/28/13

Kamu yang Berbeda


Dan kamu terasa berbeda
Ya, sebenarnya kamu tetap kamu
Kamu masih kamu, tidak berubah 
Hanya kamu yg aku rasa kini, berbeda 
Dulu di dekat kamu tak begini 
Dulu tak ada rasa ini, tak ada debar ini 
Dan kini semua tak sama 
Karena kamu telah ada di hatiku…

Benar-benar diluar dugaan. Dulu, saya selalu tahu dengan siapa saya akan jatuh hati. Saya mengerti kenapa saya bisa jatuh hati dengan orang tersebut. Namun sekarang saya serasa jadi orang gila. Tiba-tiba jatuh tanpa tahu kapan, kenapa, dan bagaimana. Dan kamu lah tempat saya jatuh itu…

Jika dipikir-pikir, sungguh, saya tidak ingin jatuh pada kamu. Saat hati saya jatuh pada kamu, ada banyak perkara yang saya tela’ah. Rasa-rasanya tidak mungkin. Memang, ini sepertinya tidak mungkin. Karena saya dan kamu, jauh berbeda.

Seperti yang kita sukai, berbeda. Kamu menyukai bintang yang tak dapat terlihat kerlip indahnya saat hujan. Sementara saya begitu menggilai sang hujan. Masih ingatkah kamu tentang perbedaan kita yang satu ini?

Yang lainnya, kamu terlalu dewasa bagi saya. Dan saya serasa sangat kanak-kanak jika berhadapan dengan kamu. Sungguh berkebalikan. Dan banyak lagi yang berbeda di antara kita…

Benar, saya tidak tahu apa yang kamu rasa. Bukannya saya tidak mau peduli, tapi rasanya saya tidak berhak untuk mencari tahu. Kamu masih terasa begitu jauh. Dan saya pun masih geleng-geleng kepala, tak percaya akan rasa ini. 

Dan sampai detik ini saya hanya bertanya pada-Nya. Apa maksud dari rasa ini? Berharap Ia memberi jawaban segera. Jika yang saya rasakan salah, biar Dia yang hapuskan, lenyapkan, dan jadikan semua yang dulu kembali. Namun, jika kamu benar-benar orang yang disediakan oleh-Nya, biarlah perasaan ini saya jaga, tumbuh, dan berkembang. Ya, pada waktu-Nya, saya akan mengerti. Saya akan tahu jawaban dari-Nya. Dan saya tetap percaya bahwa yang Ia rencanakan selalu indah J

2/20/13

Aku Mengasihimu


Diterpa angin sang malam
Dihujani derasnya sang hujan
Melunglai tak berdaya
Sakit, perih, luka
Hanya dengan mengenangmu,
aku mampu kuat
dengan mengingatmu,
aku tak lagi merasakan sakit, perih, dan luka
hanya karenamu….



Di bulan Februari yang dikenal dengan bulan kasih sayang ini, saya merasa waktu begitu cepat berlalu. Maklumlah, ada suatu pekerjaan besar yang saya dan teman-teman kerjakan. Ya, menyambut hari kasih saying (Valentine’s Day), kami mengerjakan paket valentine. Paket ini terdiri dari beberapa variasi. Kami mengerjakannya dalam rangka aksi dana karena ada suatu acara besar yang akan kami ikuti di bulan Juli dan Agustus.

Saya pribadi mempunyai harapan besar bahwa paket valentine yang kami kerjakan akan laku besar :D Meskipun ini terlihat usaha kecil, saya tak berharap yang kecil-kecil. Dari hari ke hari, promosi yang saya dan teman-teman lakukan ternyata berbuah manis.

 Dengan bermuka tebal, tak henti-hentinya kami melakukan promosi, berulang-ulang. Bahkan, jangan-jangan pemesan jadi agak terpaksa karena bosan kami tawari terus :p Hal ini tak jadi soal karena semakin hari, semakin banyak jumlah pemesanan. Yang luar biasa, ada suatu pemesanan borongan. Sungguh diluar dugaan! Alhasil, keuntungan yang kami peroleh tak bisa dibilang sedikit, namun cukup besar. Bersyukur, bersyukur untuk ini J

Tujuan dari pemesan bermacam-macam. Ada untuk kekasih, sahabat, kakak, abang, dan ada juga untuk orang tua. Tepat pada tanggal 14 Februari, saya dan beberapa teman bertugas mengantarkan pesanan sesuai tujuan.

Momen yang membuat saya terenyuh adalah saat kami mengantarkan suatu paket dari sang anak untuk orang tuanya. Kami mengantarkan paket tersebut ke tempat orang tua sang anak bekerja. Sang ibu menerima paket dengan wajah tersenyum. Terlihat sekali ibu tersebut sangat berbahagia menerima paket dari sang anak. Dan saya pun jadi teringat dengan mama…

Mengingat kesibukan saya di tahun akhir perkuliahan ini, sangat sulit mencari waktu untuk pulang kampung. Terakhir pulang kampung, hanya dua malam saya berada di rumah. Itu pun disempat-sempatkan karena mengejar akan seminar proposal. Sungguh tidak cukup waktu saya bersama keluarga pada liburan terakhir.

Tepat setelah menyelesaikan urusan antar-mengantar, saya segera mengirimkan pesan singkat ke mama:

“Terima kasih atas cinta mama sejak fani ada di dunia ini hingga kini. Tetaplah tak henti mencintai fani ya mama. Selamat hari kasih sayang. Tuhan memberkati.”

Jujur saya sangat sulit mengungkapkan emosi lewat kata-kata dan perbuatan. Rasanya geli dan memalukan. Namun, untuk mama dan papa, saya tidak merasakan hal tersebut. Dengan mata berkaca-kaca, saya mengirimkan pesan singkat tersebut dan semakin berkaca-kaca saat mendapat balasan dari mama. Saya begitu merindukan beliau; keluarga kecil kami; mama, papa, dan adik saya.

Mengasihi memang harusnya dilakukan setiap hari, namun hari kasih sayang juga diperlukan sebagai momen untuk mengingatkan dan menghangatkan kasih sayang itu kembali. Tak ada salahnya bukan? Ungkapan kasih pada momen ini pun harusnya tak jadi terasa aneh. Boleh-boleh saja. Dan saya pun ingin terus mengatakan ini:

Aku mengasihimu…
Mama, papa, dan adik…
 Selamat mengasihi ^^

1/9/13

Hujan dan Bintang


Jika hujan membuat bintang tak terlihat,
Apakah artinya mereka tak bisa bersatu?
Tidak!
Meskipun hujan hadir, bintang tetap ada
Meskipun tak terlihat, bintang tetap bersama hujan
Namun saat bintang terlihat, alangkah pedihnya ia,
bahwa hujan tak bisa menemaninya,
tak ada hujan  yang berada bersamanya
Lalu, bintang pun memilih tak memperlihatkan diri,
agar hujan bisa hadir dan menemaninya
Apa gunanya ia terlihat, tapi tak bersama hujan?
Lalu, tidakkah hujan terlihat egois?
Membiarkan bintang tak terlihat agar dia ada?
Tidak!
Hujan paham bahwa salah satu dari mereka harus ada yang mengalah
Tidak penting siapa
Hujan pun tak takut untuk mengalah
Tapi jika ia yang mengalah, maka mereka tak bisa bersama-sama
Bukankah bersama yang selalu menjadi harapan terbesar bintang dan hujan?
Ya, bersama..
Dengan segala perbedaan, dengan segala rintangan, perjuangan,
Dengan segala luka..
Mereka tetap memilih untuk bersama..

Terkadang saya dan teman sering berbincang mengenai bintang dan hujan. Ia menyukai kerllip bintang, layaknya saya yang menyukai rinai hujan. Harapan kami berbeda. Saya ingin hujan yang hadir. Tiada bintang di langit, memberi saya harapan akan kehadiran hujan. Tapi, jika hujan hadir, kerlip bintang tak terlihat indah. Teman saya mengharapkan kerlip bintang yang indah. Sehingga, saat hujan, ia kecewa karena bintang tak terlihat.

Namun, itu tidak menjadi masalah bagi kami. Saat teman saya mengharapkan kerlip bintang, terkadang saya juga mengharapkan hal yang sama. Saya mendukung harapannya. Begitu pula sebaliknya. Bukankah bintang dan hujan sama indahnya? Sama-sama pula ciptaan-Nya, Sang Maha Agung :) Ya, kesukaan kami berbeda. Mungkin dalam hal yang lain pun, ada banyak perbedaan, namun ada satu kata yang mampu menjembatani perbedaan itu, yaitu “mengalah”.

Seperti bintang, yang mengalah untuk tak terlihat, agar hujan hadir, begitu pula kita. Harus ada salah satu yang mengalah. Tak perduli siapa. Jika tak ada satupun yang mengalah, sia-sialah semua hubungan mereka. Toh mengalah untuk memperoleh yang terbaik bagi hubungan mereka.

Saya pribadi, merasa sulit sekali untuk mengalah. Mungkin terlihat sombong. Tapi, ya begitulah susahnya karena tidak ingin merasa salah atau kalah. Padahal mengalah bukan berarti salah atau kalah. Mengalah hanyalah merendahkan diri untuk dianggap kalah atau salah, agar tak terjadi sesuatu yang buruk, namun mengharapkan hal baik terjadi. Lalu, bagian mananya yang tidak baik dari kata “mengalah”?

Orang yang mau mengalah adalah orang yang berjiwa besar, orang yang sabar, yang tahu apa kebaikan dari mengalah. Orang yang mau mengalah akan memperoleh kepuasan jiwa. Mungkin ia terlihat salah atau kalah, namun menurut kepuasan jiwanya, ia menang. Orang tersebut terbukti mampu mengendalikan kesombongan dirinya. Alangkah bahagianya jadi orang yang mau mengalah.

Beberapa waktu ini, saya sedang belajar mengalah. Bisa? Jelas, bisa! Semua bisa saja dilakukan jika ada kemauan dan penyerahan diri pada-Nya. Hasilnya? Saya merasa lega luar bisa. Ternyata, mengalah begitu menyenangkan :)

Mungkin terkadang bintang tetap menunjukkan kerlipnya, namun apa akibatnya? Karena itu, ia harus merelakan kepergian hujan. Semoga kita tidak sampai kehilangan orang-orang yang kita kasihi karena persoalan mengalah :) Selamat belajar mengalah^^