Selama menjadi mahasiswa, saya sangat
jarang menonton TV. Maklumlah, sebagai anak kos, sulit punya waktu untuk
menonton TV. Apalagi sebagai mahasiswa di jurusan saya. Setiap hari, hanya
laporan yang ada di depan mata. Dulu, saat saya pertama kali menjadi anak kos,
ada TV di ruang tengah kos kami. Saya adalah satu-satunya penghuni kos yang
sangat jarang berada di ruang tengah untuk menonton TV, sehingga jika saya
berada disana, penghuni-penghuni kos yang lain menjadi heran dan kaget. “Eh, tumben
disini, Fan,” ujar mereka dengan ekspresi takjub. Saya pun hanya mampu
tersenyum.
Sebenarnya
alasan saya jarang menonton TV tidak hanya sekedar karena tak punya waktu saja,
namun yang utama adalah karena acara TV yang sering ditonton di kos itu tidak
menarik, menurut saya. Bukan hanya tidak menarik, bahkan membuat saya geleng-geleng
kepala, malas menontonnya. Ya, pasti sudah tertebak apa acara TV yang paling diminati
di kos para mahasiswa. Benar sekali, sinetron. Mereka sampai hapal semua judul
sinetron, di stasiun TV apa dan kapan jam tayangnya. Sehingga, apabila mereka
sedang membicarakan tentang nama-nama karakter di sinetron dan cerita sinetron
tersebut, saya hanya bisa terbengong-bengong, tidak mengerti.
Ketidaksukaan
saya akan sinetron Indonesia, bukan karena saya tidak menghargai karya kita
sendiri. Namun, karena saya merasa bahwa saya bagian dari bangsa inilah, saya
menjadi malu saat melihat sinetron Indonesia. Bagaimana tidak? Apa tidak malu
melihat akting para pemain sinetron yang terlihat “murahan”? Mata yang melotot
saat marah, ucapan-ucapan yang begitu kasar, bahkan cerita yang begitu dangkal.
Papa saya sering bilang begini tentang sinetron Indonesia,” Apa bangsa kita
tidak malu dengan sinetron kita? Apa jadinya kalau orang-orang luar negeri menonton
sinetron Indonesia? Mereka pasti berpikiran bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang tidak berbudaya. Dari tutur bahasanya, gerak-geriknya, sampai gaya
hidupnya. Sama sekali tidak mencerminkan budaya Indonesia.” Hal ini membuat
kami (keluarga saya), bisa dikatakan tidak pernah menonton sinetron di rumah.
Mama, yang dulunya tertarik dengan sinetron, selalu ditegur papa jika mengambil
siaran sinetron. Alhasil, tontonan kami kebanyakan acara berita atau tontonan
film-film layar lebar yang diputar di TV.
Sejak papa
menemukan frekuensi stasiun TV yang hanya memutar drama korea, hampir seharian
kami hanya menonton drama di stasiun tersebut. Tentu saja tidak ketinggalan
menonton siaran berita, yang sangat penting untuk diketahui. Drama korea bisa
juga dikatakan sinetron versi Korea. Papa sangat antusias dengan sinetron
korea. Saya, apalagi. Sehingga, stasiun TV tersebut menjadi stasiun TV favorit
kami sekeluarga. Papa berkomentar, ”Banyak sekali keunggulan sinetron korea,
seperti kata-katanya yang santun, latar belakang ceritanya yang jelas, akting
pemainnya yang natural, tidak berlebihan, ceritanya yang menarik, serta banyak
nilai-nilai budaya, pendidikan, pengetahuan dan moral yang dapat dipetik dari
sinetron tersebut. Wajar bila bangsa ini tergila-gila dengan sinetron korea.
Kalau melihat sinetron kita, mobilnya mewah-mewah, rumahnya megah-megah, tapi
nggak jelas darimana datang semuanya itu.” Saya setuju dengan pendapat papa.
Acara-acara TV
turut berperan membentuk pola pikir dan sikap bangsa ini. Sinetron yang isinya “cinta-cintaan”
melulu, tanpa unsur pendidikan yang jelas dan nilai-nilai kehidupan, cenderung
membuat penonton memiliki pola pikir yang hidupnya hanya memikirkan cinta
pasangan hidup semata. Padahal ada banyak nilai-nilai kehidupan yang layak
dipikirkan. Ucapan-ucapan sinetron kita yang pedas dan terdengar tidak sopan,
menjadikan orang-orang sering berkata kasar terhadap sesama, bahkan seorang
anak dapat berkata tidak sopan pada orang tuanya karena tontonan di TV.
Meskipun karakter seseorang kembali pada diri kita masing-masing, tapi tak ayal
lagi bahwa tontonan TV berpengaruh terhadap pola pikir dan sikap kita.
Pola pikir dan
sikap bangsa ini dapat menjadi lebih baik. Salah satunya dengan tontonan yang
membentuk pola pikir dan sikap yang baik pula, yaitu acara TV yang mendidik.
Sinetron yang menjadi acara TV favorit masyarakat, dapat menjadi tolakan untuk
mencapai karakter dan pola pikir bangsa Indonesia yang lebih baik. Jika
sinetron diproduksi bukan hanya untuk tujuan komersial, namun juga untuk
kemajuan bangsa ini, sungguh alangkah baiknya. Saya pribadi mengharapkan
sinetron kita benar-benar menggambarkan siapa bangsa Indonesia. Bukankah kita
terkenal dengan keramah-tamahan? Bukankah kita begitu bangga dengan keragaman
budaya bangsa kita? Beragam ras dan bahasa daerah. Sungguh, jika ada sinetron
yang benar-benar sinetron “Indonesia”, maka akan menambah kebanggaan kita
sebagai bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa lain yang menontonnya pun akan takjub.
Tidakkah ini menjadi impian bangsa kita?
Saya bukan ingin
menjelek-jelekkan karya bangsa ini, namun toh kita juga harus berani mengkritik
dan berkomentar yang membangun, bukan? Indonesia tidak kekurangan sumber daya
manusia yang cerdas dan mampu berpikir kreatif. Tanpa meniru cerita korea,
seperti yang ditiru oleh beberapa sinetron dan FTV Indonesia, kita dapat
menghasilkan karya yang juga tak kalah baiknya dari sinetron korea tersebut.
Ya, saya yakin.
Ya, semoga saja
produser-produser sinetron Indonesia mendengar suara masyarakat yang ingin
pembaharuan untuk Indonesia yang benar-benar jaya. Kita juga mengharapkan
penulis-penulis cerita sinetron yang menceritakan ke-Indonesiaan dan bahasa
yang baik didengar. Kita berharap pula agar sutradara-sutradara Indonesia
menggambarkan gerak-gerik bangsa Indonesia yang berbudaya dan sopan santun.
Kita berharap agar semua orang yang berperan dalam produksi sinetron Indonesia
menghasilkan karya yang membanggakan bangsa Indonesia. Kita pun masih bisa
berperan dengan terus menyuarakan suara pembaharuan. Kita masih bisa terus
berkobar-koar. Kita semua dapat berperan demi Indonesia, demi bangsa ini, demi
kita semua. Mari!
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar. Kritik dan sarannya sangat bermanfaat buat saya. Terima kasih :)